Rabu, 11 Desember 2013

MENULIS CERPEN TENTANG KEHIDUPAN ORANG LAIN

  Ini nih cerpen buatanku. pertama kali disuruh buat cerpen yang mengacu pada berita tentang kriminal atau bencana. awalnya aku pengen buat dari berita tentang teroris tetapi akhirnya malah ketemu berita yang menurutku bagus. berita itu judulnya "Terkunci seorang nenek terbakar". akhirnya jadilah sebuah cerpen ini.


      Senja membayang. Sepasang bola raksasa dengan warna merah oranye tersenyum dalam keriputnya yang sempurna. Pipinya sudah banyak garis-garis halus dengan warna kecoklatan. Dahinya berkerut-kerut tak karuan. Dulu kulitnya kencang sekarang sudah jadi kendor sana-sini. Sore ini, semilir angin menyapa ramah. Namun tak seramah putung-putung rokok ditangan Mak Maryam yang begitu cepat menghilang terhisap perasaan berdebar.
       Entah sejak kapan hidupnya dihiasi oleh putung-putung rokok. Mungkin dari lapisan-lapisan tembakau inilah Mak Maryam menemukan arti hidup yang dirasa semakin hampa. Ia menyadari bahwa umurnya sudah tidak lagi muda. Sekitar hampir seabad, namun Mak Maryam terus menghisap asap yang mematikan itu.
     Diserambi rumah yang reot ini. Mak Maryam yang kuat perkasa terus mencoba menghisap dalam-dalam teman lamanya itu. Dalam kepulan asap yang mematikan, sesekali Mak Maryam menghela napas panjang. Mata Mak Maryam menerawang. Didinding seekor cicak merayap cepat lalu menyelinap dibalik bingkai. Bingkai itu memajang foto dirinya bersama suami tercinta, yang telah lama berpulang keharibaan-Nya, setahun silam. Tinggallah Mak Maryam seorang diri di gubuk Dusun Tembalang.
      “Mak hentikan rokokmu itu, tidak baik untuk kesehatan!”
     Mak Maryam membeku. Mata cekungnya menyorot pilu. Air mukanya mengeruh. Sofiyanto anak bungsu dan lelaki satu-satunya mengagetkannya. Kedatangannya bagai halilintar yang menyambar di sore yang terang ini. Lamunannya terhenti, foto itu tak terpikirkan lagi. Sofiyanto sebenarnya tinggal bersebelahan dengannya. Namun karena ia sibuk mencari nafkah untuk keluarganya jadilah ia jarang bertandang dirumah ibunya itu. Setelah beberapa saat, Sofiyanto menunggu jawab. Mak Maryam tetap bergeming.
     “Mak pikir-pikir dulu, ya…” lirih Mak Maryam.
    “Mak, dibungkusnya saja sudah ada tulisan bahwa rokok itu bahaya” tegas Sofiyanto.
   Mak Maryam tak bereaksi. Raut mukanya tetap masam. Kata-kata anaknya itu meluncur seperti peluru yang terlontar dari senapan yang pelatuknya dengan sengaja ditekan. Tapi Mak Maryam tak marah. Hal itu sudah diketahuinya sejak lama. Namun mau dikata apa, hanya rokoklah yang menjadi penghibur hati dihari tuanya.
       Mak Maryam tertunduk lesu. Tangannya dengan kulit yang mengkisut itu melumat rokoknya yang masih setengah diasbak. Ada rasa mubazir ketika hal itu dilakukanya,lantaran agar anaknya tak lagi mengocehi soal rokok dihadapanya. Telinga yang sudah hamper tuli bisa saja semakin tuli lagi jika anaknya itu terus mengomeli tentang kesukaanya yang tak disukai anaknya itu. Mak Maryam heran. Dalam benaknya berpikir, anaknya itu laki-laki tetapi dia tidak suka hal-hal yang berbau tembakau. Tapi disisi lain Mak Maryam juga bersyukur, ia mengerti betul berapa uang yang harus dikeluarkan setiap harinya untuk membeli sebungkus rokok yang hanya akan terbakar bersama asap-asap kematian. Biarlah itu hanya terjadi pada diri Mak Maryam tetapi tidak pada anaknya.
           “Sudahlah, Mak mau menuruti kata ku atau tidak terserah” kecam Sofiyanto.
        Anaknya itu tidak berhasil membujuk ibunya kearah yang lebih baik. Hanya beberapa menit Sofiyanto berada dirumah ibunya. Ia tidak tahan dengan aroma tembakau yang dihisap oleh ibunya. Ia hendak pulang kerumahnya.
       Malam pun datang. Lampu-lampu lilin dinyalakan. Sang lilin seperti mengerti akan tugasnya. Menyinari seisi rumah menjadi terang. Seketika itu hening menyergap. Mak Maryam teringat malam-malam sepinya yang kadang ditingkahi suara jangkrik atau senandung burung hantu.
Malam belum beranjak tua. Mak Maryam meluruskan kaki kurusnya. Mata tuanya mengelilingi seisi kamar. Dulu ia berdua dengan suaminya dan sekarang ia berbaring diranjang itu sendirian. Tidak ada tawa menggema. Mak Maryam melihat tumpukan kitab Allah diatas lemari plastic kusam. Diraihnya Qur’an itu. Mak Maryam mulai membaca Qur’an dengan berlahan. Air mata pun menggenangi kedua pipi yang kerut. Tak tahu kenapa hal itu bias terjadi. Mungkin ayat-ayat Allah yang memang indah dibaca.
       Mak Maryam mengakhiri bacaan Qur’annya saat kaki mulai terasa kesemutan. Ia selalu menjaga sikap. Kaki berselonjor, menurutnya adalah posisi yang tidak patut bila sedang mengaji. Maka ditutuplah Qur’an usang miliknya. Seluruh badannya kini terasa sakit, lidahnya pun terasa pahit. Mak Maryam menggeledah sakunya. Ada sebungkus rokok beserta korek api. Dinyalakan satu batang rokok. Tampak mengepul asap-asap kematian dengan senangnya. Ujung putung rokok menyala merah keabu-abuan. Pahit dilidahnya mulai hilang dengan beberapa hisapan.
      Malam mulai larut. Mak Maryam terkantuk-kantuk. Tapi ditangannya masih menggenggam putung rokok kesukaannya. Ia khawatir jika rokok itu dilumatkan lidahnya kembali pahit. Jam dinding berjalan tapi pasti mengitari bulatan bingkai yang usang. Semilir angin malam masuk melalui celah-celah dinding rumahnya yang terbuat dari papan, semakin membuat mata mengantuk. Akhirnya Mak Maryam tertidur bersama kepulan asap. Putung rokok itu terlupakan dan jatuh ikut berbaring diempuknya kasur kapuk milik Mak Maryam. Namun putung rokok itu tak mau tidur, bara apinya semakin menyala besar memakan sebagian kasur. Bahkan telah memakan papan disebelahnya. Lucunya Mak Maryam tak segera bangun dan terus tertidur dalam lelapnya. Mungkin saja Mak Maryam sudah tertidur untuk selama-lamanya. Hanya Allah dan Mak Maryam sendirilah yang tahu soal itu.
        Jam menunjukkan pukul 02.00 kebiasaan para bapak-bapak yang suka begadang tak terkecuali Sofiyanto. Ia mendengar suara kayu terbakar, suara itu telah mengganggu acara begadangnya. Ia pun keluar rumah untuk mengecek. Dalam suasana kekagetan yang menyergap, ia melihat rumah ibunya sudah terbakar hebat.
      “Mak, keluar Mak kebakaran” teriak Sofiyanto.
       Sofiyanto lari tunggang langgang menghampiri rumah ibunya. Dalam usaha penyelamatan ibunya, ia menemui kegagalan. Muka dan keningnya luka tertimpa kayu yang terbakar.
          “Tolong..tolong..” teriaknya
       Semua warga sekitar terbangun dan berhamburan keluar rumah. Mereka membawa ember-ember berisi air. Ada juga yang berlarian tanpa tujuan alias bingung. Kondisi rumah yang reot itu rata dengan tanah dan hanya menyisakan puing-puing.
       Fajar menyingsing membuka kesedihan yang mendalam. Walaupun Sofiyanto tak suka terhadap kelakuan ibunya namun ia hanya seorang anak yang masih mempunyai rasa sayang. Ia tak sanggup berdiri dan berkata setelah warga menemukan jasad ibunya dalam kondisi gosong di dalam kamarnya. Ada sesak yang menggumpal di dada. Ibu yang sekaligus seorang nenek bagi anak-anaknya kini benar-benar telah berpulang menghadap sang pencipta.

 
Blogger Widgetskupu