Ini nih cerpen buatanku. pertama kali disuruh buat cerpen yang mengacu pada berita tentang kriminal atau bencana. awalnya aku pengen buat dari berita tentang teroris tetapi akhirnya malah ketemu berita yang menurutku bagus. berita itu judulnya "Terkunci seorang nenek terbakar". akhirnya jadilah sebuah cerpen ini.
Senja
membayang.
Sepasang bola raksasa
dengan
warna
merah
oranye
tersenyum
dalam
keriputnya
yang sempurna. Pipinya
sudah
banyak
garis-garis
halus
dengan
warna
kecoklatan.
Dahinya
berkerut-kerut
tak
karuan.
Dulu
kulitnya
kencang
sekarang
sudah
jadi
kendor
sana-sini.
Sore ini,
semilir
angin
menyapa
ramah.
Namun
tak
seramah
putung-putung rokok
ditangan
Mak
Maryam yang begitu
cepat
menghilang
terhisap
perasaan
berdebar.
Entah
sejak
kapan
hidupnya
dihiasi
oleh
putung-putung
rokok.
Mungkin
dari
lapisan-lapisan
tembakau
inilah
Mak
Maryam menemukan
arti
hidup
yang dirasa
semakin
hampa.
Ia
menyadari
bahwa
umurnya
sudah
tidak
lagi
muda.
Sekitar
hampir
seabad,
namun
Mak
Maryam terus
menghisap
asap
yang mematikan
itu.
Diserambi
rumah
yang reot
ini.
Mak Maryam yang kuat
perkasa
terus
mencoba
menghisap
dalam-dalam
teman
lamanya
itu.
Dalam
kepulan
asap
yang mematikan, sesekali
Mak
Maryam menghela
napas
panjang.
Mata Mak Maryam
menerawang.
Didinding
seekor
cicak
merayap
cepat
lalu
menyelinap
dibalik
bingkai.
Bingkai
itu
memajang
foto
dirinya
bersama
suami
tercinta,
yang telah lama berpulang
keharibaan-Nya,
setahun
silam.
Tinggallah
Mak
Maryam seorang
diri
di gubuk
Dusun
Tembalang.
“Mak
hentikan
rokokmu
itu,
tidak
baik
untuk
kesehatan!”
Mak
Maryam membeku. Mata cekungnya
menyorot
pilu.
Air mukanya
mengeruh.
Sofiyanto
anak
bungsu
dan
lelaki
satu-satunya
mengagetkannya.
Kedatangannya
bagai
halilintar
yang menyambar di sore yang terang
ini.
Lamunannya
terhenti,
foto
itu
tak
terpikirkan
lagi.
Sofiyanto
sebenarnya
tinggal
bersebelahan
dengannya.
Namun
karena
ia
sibuk
mencari
nafkah
untuk
keluarganya
jadilah
ia
jarang
bertandang
dirumah
ibunya
itu.
Setelah
beberapa
saat,
Sofiyanto
menunggu
jawab.
Mak Maryam tetap
bergeming.
“Mak
pikir-pikir
dulu,
ya…” lirih
Mak
Maryam.
“Mak,
dibungkusnya
saja
sudah
ada
tulisan
bahwa
rokok
itu
bahaya”
tegas
Sofiyanto.
Mak
Maryam tak
bereaksi.
Raut
mukanya
tetap
masam.
Kata-kata anaknya
itu
meluncur
seperti
peluru
yang terlontar
dari
senapan
yang pelatuknya
dengan
sengaja
ditekan.
Tapi
Mak
Maryam tak
marah.
Hal itu
sudah
diketahuinya
sejak
lama. Namun
mau
dikata
apa,
hanya
rokoklah
yang menjadi
penghibur
hati
dihari
tuanya.
Mak
Maryam tertunduk
lesu.
Tangannya
dengan
kulit
yang mengkisut
itu
melumat
rokoknya
yang masih
setengah
diasbak.
Ada rasa mubazir
ketika
hal
itu
dilakukanya,lantaran
agar anaknya
tak
lagi
mengocehi
soal
rokok
dihadapanya.
Telinga yang sudah
hamper
tuli
bisa saja semakin
tuli
lagi
jika
anaknya
itu
terus
mengomeli
tentang
kesukaanya
yang tak
disukai
anaknya
itu.
Mak Maryam heran. Dalam
benaknya
berpikir,
anaknya
itu
laki-laki
tetapi
dia
tidak
suka
hal-hal
yang berbau
tembakau.
Tapi
disisi
lain Mak Maryam juga
bersyukur,
ia
mengerti
betul
berapa
uang
yang harus
dikeluarkan
setiap
harinya
untuk
membeli
sebungkus
rokok
yang hanya
akan
terbakar
bersama
asap-asap kematian. Biarlah
itu
hanya
terjadi
pada
diri
Mak
Maryam tetapi
tidak
pada
anaknya.
“Sudahlah,
Mak
mau
menuruti
kata
ku
atau
tidak
terserah”
kecam
Sofiyanto.
Anaknya
itu
tidak
berhasil
membujuk
ibunya
kearah
yang lebih
baik.
Hanya
beberapa
menit
Sofiyanto
berada
dirumah
ibunya.
Ia
tidak
tahan
dengan
aroma tembakau yang dihisap
oleh
ibunya.
Ia
hendak
pulang
kerumahnya.
Malam
pun datang. Lampu-lampu
lilin
dinyalakan.
Sang lilin
seperti
mengerti
akan
tugasnya.
Menyinari
seisi
rumah
menjadi
terang.
Seketika
itu
hening
menyergap.
Mak Maryam teringat
malam-malam
sepinya
yang kadang
ditingkahi
suara
jangkrik
atau
senandung
burung
hantu.
Malam
belum
beranjak
tua.
Mak Maryam meluruskan kaki kurusnya. Mata tuanya
mengelilingi
seisi
kamar.
Dulu
ia
berdua
dengan
suaminya
dan
sekarang
ia
berbaring
diranjang
itu
sendirian.
Tidak
ada
tawa
menggema.
Mak Maryam melihat
tumpukan
kitab
Allah diatas
lemari
plastic
kusam.
Diraihnya Qur’an itu. Mak Maryam mulai
membaca
Qur’an dengan
berlahan.
Air mata pun menggenangi
kedua
pipi
yang kerut. Tak
tahu
kenapa
hal
itu
bias
terjadi.
Mungkin
ayat-ayat
Allah yang memang
indah
dibaca.
Mak
Maryam mengakhiri
bacaan
Qur’annya
saat
kaki mulai
terasa
kesemutan.
Ia
selalu
menjaga
sikap.
Kaki berselonjor, menurutnya
adalah
posisi
yang tidak
patut
bila
sedang
mengaji.
Maka
ditutuplah
Qur’an usang
miliknya.
Seluruh
badannya
kini
terasa
sakit,
lidahnya pun terasa
pahit.
Mak Maryam menggeledah
sakunya.
Ada sebungkus
rokok
beserta
korek
api.
Dinyalakan
satu
batang
rokok.
Tampak
mengepul
asap-asap kematian
dengan
senangnya.
Ujung putung
rokok
menyala
merah
keabu-abuan.
Pahit
dilidahnya
mulai
hilang
dengan
beberapa
hisapan.
Malam
mulai
larut.
Mak Maryam terkantuk-kantuk. Tapi
ditangannya
masih
menggenggam
putung
rokok
kesukaannya.
Ia
khawatir
jika
rokok
itu
dilumatkan
lidahnya
kembali
pahit.
Jam dinding
berjalan
tapi
pasti
mengitari
bulatan
bingkai
yang usang. Semilir
angin
malam
masuk
melalui
celah-celah
dinding
rumahnya
yang terbuat
dari
papan,
semakin
membuat
mata
mengantuk.
Akhirnya
Mak
Maryam tertidur
bersama
kepulan
asap.
Putung
rokok
itu
terlupakan
dan
jatuh
ikut
berbaring diempuknya
kasur
kapuk
milik
Mak
Maryam. Namun
putung
rokok
itu
tak
mau
tidur,
bara
apinya
semakin
menyala
besar
memakan
sebagian
kasur.
Bahkan
telah
memakan
papan
disebelahnya.
Lucunya
Mak
Maryam tak
segera
bangun
dan
terus
tertidur
dalam
lelapnya.
Mungkin
saja
Mak
Maryam sudah
tertidur
untuk
selama-lamanya.
Hanya Allah dan
Mak
Maryam sendirilah yang tahu
soal
itu.
Jam
menunjukkan
pukul
02.00 kebiasaan para bapak-bapak yang suka
begadang
tak
terkecuali
Sofiyanto.
Ia
mendengar
suara
kayu
terbakar,
suara
itu
telah
mengganggu
acara
begadangnya.
Ia pun keluar
rumah
untuk
mengecek.
Dalam
suasana
kekagetan
yang menyergap, ia
melihat
rumah
ibunya
sudah
terbakar
hebat.
“Mak,
keluar
Mak
kebakaran”
teriak
Sofiyanto.
Sofiyanto
lari
tunggang
langgang
menghampiri
rumah
ibunya.
Dalam
usaha
penyelamatan
ibunya,
ia
menemui
kegagalan.
Muka
dan
keningnya
luka
tertimpa
kayu
yang terbakar.
“Tolong..tolong..”
teriaknya
Semua
warga
sekitar
terbangun
dan
berhamburan
keluar
rumah.
Mereka
membawa
ember-ember berisi air. Ada juga yang berlarian
tanpa
tujuan
alias bingung. Kondisi
rumah
yang reot
itu
rata dengan
tanah
dan
hanya
menyisakan
puing-puing.
Fajar
menyingsing
membuka
kesedihan
yang mendalam. Walaupun
Sofiyanto
tak
suka
terhadap
kelakuan
ibunya
namun
ia
hanya
seorang
anak
yang masih
mempunyai
rasa sayang. Ia
tak
sanggup
berdiri
dan
berkata
setelah
warga
menemukan
jasad
ibunya
dalam
kondisi
gosong
di dalam
kamarnya.
Ada sesak yang menggumpal di dada. Ibu yang sekaligus
seorang
nenek
bagi
anak-anaknya
kini
benar-benar
telah
berpulang
menghadap
sang pencipta.
0 comments:
Posting Komentar